CARI

Pengaruh Ekonomi Indonesia terhadap Alusista

Indonesia berada di posisi sangat strategis dalam lingkup kawasan Asia Tenggara. Nilai strategis Indonesia selain sebagai negara yang berdaulat, juga disebabkan oleh letak geografisnya. Sebagai sebuah negara kepulauan yang berada diantara dua benua—Benua Asia serta Benua Australia—dan diantara dua samudra—Samudra Hindia beserta Samudra Pasifik—menjadikan Indonesia juga sebagai salah satu jalur strategis perdagangan dunia.
Untuk itu Indonesia dituntut memiliki kekuatan berupa alutsista TNI yang memadai sebagai instrumen utama menjaga menjaga kedaulatan teritorial serta mengamankan kepentingan nasional dari ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Dinamika hubungan antar negara dalam mengamankan kepentingan nasionalnya tidak jarang berbenturan dengan kepentingan nasional negara lainnya. Ketegangan tersebut terkadang dapat diselesaikan secara damai melalui jalur diplomatik maupun dengan jalur militer. Situasi dan dinamika hubungan antar negara berbasis pada kepentingan nasional masing-masing melahirkan situasi mengancam dan diancam. Untuk memperkuat posisi tawar secara diplomatik maka kekuatan militer, dalam hal modernisasi dan kemandirian alutsista TNI, adalah satu faktor penunjang sehingga dapat memberikan detterence effect (efek penggentar) kepada negara-negara lain.
Tanpa usaha mengurangi ketergantungan pasokan alutsista TNI dari negara lain kebesaran dan harga diri bangsa Indonesia dihadapan bangsa-bangsa lain khususnya di kawasan akan mudah diremehkan dan dipandang sebelah mata dalam berunding melaui jalur diplomatik maupun konfrontasi terbuka melalui operasi militer.
Akumulasi dampak dari terabaikannya pembangunan industri pertahanan indonesia kian terasa disaat Indonesia mendapat sanksi embargo militer dari Amerika Serikat dan sekutunya.  Masih tersimpan dalam ingatan ketika Amerika Serikat dan sekutunya menjatuhkan embargo militer terhadap Indonesia. Embargo ini didasarkan tuduhan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Indonesia yang menurut mereka telah melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur pada tahun 1999. Embargo ini mengakibatkan Indonesia tidak bisa membeli peralatan militer termasuk suku cadangnya sehingga menyebabkan peralatan militer Indonesia terutama alutsista stategis seperti F-16, F-5, Hercules C-130 dan Hawk series mengalami penurunan kesiapan tempur hingga di bawah 50%.
Embargo ini menyebabkan Alutsista TNI, khususnya pada matra udara banyak yang harus di grounded[1] sementara karena tidak memiliki suku cadang untuk mendukung operasinya. Sebagai contoh sebagian pesawat F-16 milik TNI AU harus rela di kanibalisasi untuk dijadikan spare part bagi pesawat F-16 lainnya. Dari 10 pesawat F-16 Indonesia kala itu, tidak lebih dari 4 pesawat saja yang bisa diterbangkan. Selebihnya di grounded. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin 4 pesawat F-16 bisa menjaga kedaulatan Republik Indonesia yang luasnya hampir sama dengan luas benua Eropa. Sungguh kondisi yang memprihatinkan.[2]
Kondisi tersebut puncaknya menimbulkan sejumlah permasalahan yang serius. Diantaranya ketika Malaysia mengambil kesempatan ditengah keterpurukan militer Indonesia. Kita tahu, perselisihan Sipadan dan Ligitan juga berlangsung di tahun 2002 sewaktu embargo militer sedang dialami Indonesia. Karena kelemahan militer Indonesia ketika itu, Indonesia akhrinya kalah dari Malaysia dan harus merelakan Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia. Lemahnya militer Indonesia ketika itu mengurangi daya tawar Indonesia dan itu benar-benar di manfaatkan oleh Malaysia. Kemudian saat tragedi tsunami di Aceh tahun 2004. Saat itu TNI mengalami kesulitan dalam hal sarana transportasi pengangkut akibat pesawat Hercules C-130 yang berperan sebagai sarana angkut utama mengalami grounded akibat kekurangan pasokan suku cadang.
Pengalaman pada fase-fase sulit saat embargo militer Amerika Serikat dan sekutunya berlaku mulai dari tahun 1999 – 2005 harus dijadikan sebagai pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia khususnya bagi Kementerian Pertahanan selaku institusi yang bertanggungjawab atas masalah pertahanan. Rencana strategis jangka panjang dalam modernisasi alutsista dan mengurangi ketergantungannya pada negara lain harus segera disusun secara sistematis, komprehensif dan terprogram sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Modernisasi alutsista TNI tanpa adanya kemandirian dalam pengadaan, perawatan dan peremajaan hanya akan menimbulkan ketergantungan pada negara lain. Untuk mengurangi ketergantungan tersebut mutlak didukung oleh industri pertahanan nasional yang tangguh. Industri pertahanan dikategorikan kedalam industri strategis.
Kekuatan pertahanan negara-negara di dunia saat ini tidak sekadar didukung oleh manpower atau personel militer aktif ysng besar secara kuantitas, tapi juga oleh ketersediaan teknologi canggih. Industri pertahanan suatu bangsa sangat bertautan erat dengan kemampuan suatu negara terutama dalam kekuatan ekonomi dan penguasaan teknologi.
Merujuk kepada hasil riset lembaga ekonomi dunia, semisal International Monetary Fund (IMF), Standard Chartered Research and Analysis, lembaga kajian VOX (tentang Global Growth Generators) dan Jim O’Neill, ekonom Goldman Sachs, yang menunjukkan Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi baru bersama negara lain semisal negara-negara yang kerap disebut dengan BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) dalam waktu beberapa tahun mendatang, dengan diikuti peningkatan anggaran pertahanan, maka sudah sepantasnya Indonesia mempunyai potensi besar membangun industri pertahanan yang mandiri.
Persoalan pertahanan memang selalu dikaitkan dengan ekonomi. Dalam pengertian ini, besarnya belanja pertahanan suatu negara dapat merepresentasikan kekuatan ekonomi suatu negara. Studi klasik semacam yang dilakukan Emile Benoit menegaskan bahwa pengeluaran anggaran pertahanan yang besar memicu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sebaliknya, kecilnya anggaran pertahanan suatu negara akan membuat pertumbuhan ekonomi negara tersebut menjadi lambat.[3] De Grasse juga menyatakan bahwa belanja pertahanan akan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya beli dan medorong pertumbuhan ekonomi.[4]
Secara umum industri memegang peranan sangat penting bagi perekonomian nasional, terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Sektor ini mampu memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat dan dalam perolehan devisa negara melalui kegiatan ekspor berbagai produk hasil industri. Beberapa Industri strategis yang berperan sebagai supplier bagi alutsista TNI semisal PT Pindad berbadan hukum BUMN. Sebagian BUMN strategis yang dapat menjadi pilar industri pertahanan nasional semacam PT DI dahulu dikenal dengan IPTN malah menjadi “zombie” atau diibaratkan dalam keadaan “mati segan hidup tak mau”.
Tantangan besar bagi Indonesia yang masih berkutat dengan masalah pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan dan kesehatan sehingga untuk membangun industri pertahanan yang mandiri belum menjadi isu yang menarik. Namun isu dan gagasan untuk mewujudkan dalam kemandirian dalam industri pertahanan tidak bisa diabaikan dan dibelenggu.
Kegagalan mewujudkan industri pertahanan akan membawa dampak-dampak negatif lain, seperti besar anggaran yang harus digunakan untuk membeli peralatan dari negara lain, terhambatnya potensi pertumbuhan ekonomi yang muncul dalam industri pertahanan dalam negeri, serta ketergantungan peralatan pertahanan keamanan (alpalhankam) dari luar negeri yang membuat terdeteksinya kekuatan pertahanan yang kita miliki.
Untuk mewujudkan terciptanya kemandirian dalam industri pertahanan, dibutuhkan skema dan rencana strategis yang matang. Berbagai potensi baik dari dalam maupun luar negeri, harus dipetakan dengan baik. Kita juga tak bisa mengabaikan berbagai persoalan dan sejarah dalam sistem pertahanan yang kita miliki sejak kemerdekaan hingga sekarang. Yang pasti, kemandirian industri pertahanan harus menjadi bagian dari sistem pertahanan yang dicita-citakan. Jika bangsa Indonesia mengabaikan kemandirian industri pertahanannya maka akan berdampak timbulnya akumulasi dalam bentuk ancaman serius yang bersifat multidimensional di masa yang akan datang.
[1]Dalam dunia aviasi, biasanya setiap pesawat terbang akan selalu mendapat cek rutin untuk menjamin kelayakan terbang. Dan kalau dalam suatu pemeriksaan tersebut ditemukan ada kesalahan dan kesalahan tersebut tidak bisa atau sulit untuk diperbaiki, maka pasti orang-orang dari teknisi yang melakukan pemeriksaan tersebut akan melabel pesawat dengan istilah groundedGrounded, yang artinya bahwa pesawat tersebut ditanahkan alias tidak boleh terbang, dengan kata lain pesawat tersebut dikurung dalam hangar dan tidak boleh terbang. Label grounded juga akan diberikan kepada pesawat yang sudah tua.
[2] Embargo Militer : Masa Suram Alutsista Militer Indonesia diakses pada 15 Desember 2015
[3] Silmi Karim, Membangun Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia, Kepustakaan Populer Gramedia, 2014,  hal. 3
[4] Zhou Dongming, Liu Siqi, The Impact of Defense Expenditure on Economic Productivity in APEC Countries, Review of the Air Force Academy, No. 1 (25), 2014, hal. 109
Kuat secara ekonomi saja tidak cukup bagi sebuah negara berdaulat. Makmur saja belum cukup bagi suatu bangsa  bila tidak disertai rasa aman. Tanpa diimbangi kekuatan militer,  negara takkan mampu menjaga tanah tumpah darah dan melindungi segenap bangsanya. Itu sebabnya, negara-negara maju membangun kekuatan militernya lewat pengembangan industri dalam negeri. Pembangunan ekonomi dan peningkatan kekuatan militer berjalan seiring. 

Kesadaran inilah yang mendorong pemerintah mengalokasikan dana Rp 150 triliun selama lima tahun, 2009-2014, untuk memperkuat persenjataan Indonesia, di antaranya Rp 50 triliun untuk pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) di dalam negeri. Jauh sebelum Jokowi -Joko Widodo, Wali Kota Solo- mempromosikan mobil Esemka, Kementerian Pertahanan sudah menetapkan kebijakan untuk meningkatkan kekuatan militer Indonesia lewat pengadaan alutsista di dalam negeri. 

Sebagai negara besar dengan jumlah penduduk nomor empat di dunia-setelah RRT, India, dan AS-, sewajarnya Indonesia mampu memproduksi sendiri senjata. Mengandalkan senjata impor hanya memposisikan Indonesia sebagai ayam sayur. Negara eksportir senjata dengan mudah mematahkan kekuatan Indonesia lewat embargo. Menghentikan pengiriman suku cadang dan bantuan perawatan saja, Indonesia sudah pasti kewalahan. Memiliki industri alutsista dan keahlian di bidang industri persenjataan adalah cara terbaik mempertahankan diri dan menjaga kedaulatan bangsa. 

Kita memberikan apresiasi kepada kebijakan Kementerian Pertahanan dalam memperkuat pertahanan nasional lewat pengadaan alutsista di dalam negeri dan kerjasama produksi alutsista dengan sejumlah negara. Indonesia kini, antara lain, sedang memproduksi pesawat tempur yang lebih canggih dari F-16 di Korsel. Dengan kepemilikan 20%, pada tahun 2020, RI akan memiliki 50 pesawat tempur canggih. Pada saatnya, pesawat  tempur itu akan diproduksi di Indonesia dan negeri ini akan menjadi eksportir pesawat tempur canggih. 

Salah satu komitmen produksi alutsista di dalam negeri ditunjuk Kementerian Pertahanan lewat order Rp 10 triliun kepada PT Dirgantara Indonesia (DI), sebuah BUMN strategis yang sempat berjaya di masa Orde Baru, tapi kemudian nyaris bangkrut karena kekuatannya dipreteli pemerintah atas desakan International Monetary Fund (IMF).  Selain PT DI,  BUMN strategis lainnya-PT Pindad, PT PAL, PT Inka, PT Inti, PT Barata,  PT Dahana, Bhoma Bisma, dan PT  Krakatau Steel-dikerdilkan. Pemerintah menghentikan dukungan pendanaan dan terutama berbagai kebijakan yang mendukung.  

Dukungan paling penting terhadap industri nasional selain pendanaan adalah komitmen pemerintah untuk membeli. Jika semua kementerian dan BUMN, pemerintah pusat hingga daerah, memproritaskan produksi dalam negeri setiap pengadaan barang, industri dalam negeri akan bertumbuh pesat.  Jika setiap pemda yang memiliki laut memesan  kapal dari PT PAL, maju pesatlah BUMN itu. Begitu pula dengan PT DI, PT Inka, BUMN strategis lainnya dan perusahaan swasta. Langkah itulah yang dilakukan Korsel dan negara-negara maju saat pertama kali mengembangkan industri mereka.  

Langkah konkret telah diambil Jokowi. Wong Solo itu menggantikan Toyota Chamry, mobil dinasnya, dengan  mobil buatan siswa  SMK yang belum lulus uji kelayakan hanya dengan maksud untuk mendorong bangsa ini memiliki mobil nasional (mobnas). Ia  memasang nomor AD-1, plat resmi Wali Kota Solo pada mobil Esemka sebagai  wujud protes terhadap pemerintah dan elite bisnis yang terlalu berorientasi asing dan cenderung menyepelekan kemampuan bangsa. Dalam benaknya, jika siswa SMK saja bisa membuat mobil, bagaimana mahasiswa dan para ahli dari ITB, ITS, dan berbagai fakultas teknik di Tanah Air? Bagaimana BPPT dan sejumlah industri strategis nasional? Langkah Jokowi bagai bigbang yang meledakkan pengaruh positif ke seluruh penjuru Tanah Air. 

Para pejabat, politisi, artis, dan sejumlah komponen masyarakat beramai-ramai memesan mobil Esemka. Jokowi Effect ikut memperkuat semangat pembuatan alutsista di dalam negeri. Menteri BUMN Dahlan Iskan menyiagakan semua BUMN strategis untuk mendukung produksi  berbagai jenis otomotif dan alutsista. Langkah konkret sudah ditunjukkan Kementerian Pertahanan. Selama ini, diam-diam, sudah banyak alutsista diproduksi di dalam negeri. 

PT Pindad, antara lain, sudah memproduksi  pistol, senjata laras panjang, dan panser. Ketiga produk ini pun sudah diekspor setelah terbukti unggul dalam berbagai perlombaan senjata di level Asia. PT PAL memproduksi kapal perang dan kapal selam. Bersama Rusia dan RRT, PT PAL memproduksi kapal perang  berukuran 60 meter untuk mengangkut roket-roket  dengan jangkauan 120 km.  Kementerian Pertahanan sudah mengorder alutsista senilai Rp 10 triliun kepada PT DI. Ditambah kredit dari PT BRI Tbk senilai Rp 1,5 triliun, BUMN yang awalnya bernama PT Nurtanio ini  memproduksi helikopter, pesawat, dan roket.  PT Inka yang pernah memproduksi mobil Gea akan didorong untuk memproduksi mobil di samping gerbong kereta api.  

PT DI tidak saja pernah terbukti memproduksi pesawat CN-235 dan CN-250, melainkan juga meluncurkan dua jenis mobil penumpang, Komodo dan Maleo. Baru sedikit pembenahan, kekuatan militer Indonesia sudah membuat negara tetangga gentar. Singapura dan Malaysia adalah dua negara jiran yang sangat khawatir dengan kekuatan militer Indonesia. Mereka tahu persis, personel TNI Indonesia jauh lebih banyak. Jika para prajurit berani mati ini dibekali peralatan canggih, betapa dahsyat kekuatan militer RI.  

Dengan membenahi  kekuatan pertahanan, Indonesia memberikan sinyal kepada dunia bahwa negeri ini punya gengsi, bangsa ini punya martabat.  Selain pengadaan alutsista dalam negeri, Indonesia menambah pesawat tempur F-16, kapal perang, tank canggih, dan berbagai jenis alutsista. Peningkatan kekuatan militer Indonesia bukan untuk menakut-nakuti tetangga, melainkan untuk menjaga kepentingan Indonesia dan wilayah Nusantara yang amat luas. 

Selama ini, sekitar Rp 150 triliun per tahun kekayaan laut Indonesia dicuri kapal ikan asing yang canggih. Penyelundupan BBM dan berbagai produk lewat laut lepas dan pulau-pulau yang amat banyak  sulit dideteksi akibat minimnya kapal dan pesawat canggih. Kekuatan ekonomi dan militer saling mendukung. Ekonomi yang baik meningkatkan kemampuan Indonesia dalam memperkuat pertahanan, menjaga setiap jengkal wilayah dan melindungi setiap warga negara dari ancaman musuh. Belanja militer akan terus dinaikkan seiring dengan peningkatan kemampuan ekonomi.  Dengan pertahanan yang baik, militer Indonesia bisa menjaga semua kepentingan ekonomi negara. Dengan militer yang kuat, bangsa ini tidak perlu merunduk-runduk pada negara adikuasa dan mengalah dalam setiap perundingan yang merugikan dan membahayakan kepentingan bangsa dan negara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan (archipellagic state) dengan jumlah pulau besar dan kecil lebih kurang 17.508 pulau. Letaknya secara geografi s sangat strategis, karena berada pada posisi silang, yakni diantara Benua Asia dan Benua Australia serta diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Terdiri dari gugusan kepulauan sepanjang 5.110 km dan lebar 1.888 km, luas perairan sekitar 5.877.879 km2, luas laut teritorial sekitar 297.570 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 695.422 km2 , pantai sepanjang 79.610 km yang dua pertiganya adalah laut dan luas daratannya 2.001.044 km2 .
Indonesia juga berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun laut. Indonesia berbatasan langsung di daratan dengan tiga negara tetangga yaitu : Malaysia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dengan Serawak dan Sabah sepanjang 2004 km), Provinsi Papua dengan Papua New Guinea dan Nusa Tenggara Timur dengan Repulic Demokratic Timor Leste. Di wilayah laut, berbatasan dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Republic Demokratic Timor Leste. Dengan wilayah yang sangat luas serta terdiri atas pulau-pulau, menuntut adanya strategi pertahanan negara yang tepat untuk mengamankan wiayah tersebut. Tugas untuk melindungi dan mengamankan Indonesia dengan karakteristik yang demikian, mengisyaratkan tantangan yang kompleks dan berimplikasi pada tuntutan pembangunan dan pengelolaan sistem pertahanan negara untuk menghasilkan daya tangkal yang andal.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setiap bangsa tidak terlepas dari kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kebutuhan suatu bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan, integritas dan eksistensi kedaulatan negara, stabilitas keamanan, ketertiban dan rasa aman bagi warga masyarakatnya, merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan, agar segala kegiatan dalam penyelenggaraan negara dapat berjalan tertib, aman dan lancar. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan Angkatan Bersenjata yang mampu mengatasi segala bentuk ancaman maupun gangguan pertahanan yang dapat terjadi setiap saat di wilayah daratan. Dengan ciri wilayah yang masing-masing memiliki karakteristik relatif berbeda, kekuatan darat sebagai tugas pengabdian militer merupakan kekuatan yang sangat diperlukan untuk menjamin kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Pembangunan Postur TNI AD yang mencakup tingkat kekuatan, kemampuan dan pola gelar kekuatan, pada hakikatnya diorientasikan pada pencapaian tugastugas TNI AD dalam rangka menunjang kepentingan nasional. Tugas-tugas TNI AD di masa mendatang masih akan dihadapkan pada keterbatasan anggaran pertahanan. Disisi lain, cepatnya perubahan lingkungan strategis akan menambah semakin kompleksnya permasalahan dalam menegakkan kedaulatan negara. Sebagai komponen utama pertahanan di darat sesuai dengan amanat Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004, pembangunan Postur TNI AD tidak hanya mengacu kepada ketersediaan anggaran (budget based planning) atau ancaman saja (threat based planning) namun juga diorientasikan untuk mencapai kemampuan tertentu (capability based planning). Sasaran pembangunan Postur TNI AD adalah terwujudnya kekuatan pertahanan negara pada suatu standar penangkalan (standard deterence).
mlrs-astros-2
Dengan mempertimbangkan kompleksitas penilaian spektrum ancaman dan kondisi keterbatasan anggaran pertahanan, maka pembangunan pertahanan negara terutama TNI AD perlu diarahkan pada sasaran yang prioritas dan mendesak. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah penyiapan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF). Dalam penyiapan, pembinaan maupun penggunaan kekuatan dalam rangka pertahanan negara, pembangunan kekuatan TNI AD mengedepankan keterpaduan TNI sebagai prinsip dasar yang diwujudkan dalam kerangka Trimatra Terpadu guna mensinergikan kekuatan ketiga matra secara optimal, efektif, efisien dan berdaya guna. Konsep tersebut mengedepankan penyusunan kebutuhan Kekuatan Pokok Minimum disertai dengan kemampuan penangkal melalui diplomasi dan kerja sama internasional. Pembangunan TNI AD dalam dua Renstra mendatang (2015-2019 dan 2020-2024) diproyeksikan pada pencapaian Kekuatan Pokok Minimum yang mencakup organisasi, personel dan Alutsisita serta pengadaan, sesuai dengan kemampuan anggaran pertahanan.
Alutsista baru me rupakan sistem per senjataan baru yang telah dipilih melalui proses yang panjang dan berkesinambungan, yang telah dipertimbangkan dari berbagai aspek dan kepentingan antara lain faktor politis, ekonomi, teknologi dan kemampuan dukungan industri dalam negeri serta memilki efek tangkal (deterrent effect), guna memenuhi kebutuhan Minimum Essential Force Alutsista jajaran satuan TNI AD. Alutsista modern memiliki teknologi dan daya tangkal tinggi (High technology and deterrent effect), merupakan basic Operational Requirement (Opreq) Alutsista yang harus dimiliki oleh jajaran satuan TNI AD.
KONDISI ALUTSISTA TNI AD SAAT INI
Kondisi pertahanan suatu negara salah satunya dapat dilihat dari kondisi alat utama sistem persenjataan (Alutsista) Angkatan Bersenjatanya, dimana semakin kuat, canggih, modern, efektif dan efi sien Alutsista suatu negara, menunjukan semakin kuat pula pertahanannya. Alutsista sebuah negara akan sangat berpengaruh terhadap pertahanan suatu negara, untuk melindungi wilayah negara diperlukan sistem persenjataan yang memadai untuk mencakup seluruh wilayah negara tersebut. Alutsista bahkan bisa berpengaruh terhadap kedudukan suatu negara dalam percaturan politik global. Modernisasi dipandang sudah sangat mendesak, karena dengan meningkatnya intensitas dan eskalasi ancaman, akibat perkembangan lingkungan strategis, menuntut profesionalisme TNI AD dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Untuk dapat meningkatkan profesionalitas itu antara lain dengan melaksanakan modernisasi Alutsista.
Lembaga peneliti kekuatan militer negara di dunia, Global Firepower menempatkan kekuatan militer Indonesia pada tahun 2015 berada pada posisi ke-12. Hal ini mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2011, dimana kekuatan militer Indonesia berada pada posisi ke-18 dunia. Ditingkat ASEAN, kekuatan militer Indonesia menempati urutan pertama, sedangkan di tingkat Asia Pasifik kekuatan militer Indonesia menempati urutan ke-8 dibawah Pakistan, diikuti Vietnam (ke-9), Thailand, (ke-11), Australia (ke-12), Myanmar (ke-14) Malaysia (ke-15), Philipina (ke-17) dan Singapura (ke-21).
Dalam RPJMN 2010- 2014, program percepatan pembangunan Minimum Essential Forces menjadi salah satu prioritas pemerintah. Pada 2013, pemerintah menargetkan peningkatan Alutsista, khusus untuk Matra Darat meningkat menjadi 37%. Pemerintah dan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat memperbesar porsi pinjaman dalam negeri untuk mendukung pendanaan pengadaan Alutsista. Pada 2013 Kementerian Pertahanan telah mengadakan kontrak pembelian Main Battle Tank Leopard 2A4 dan Leopard Revolution serta Infantry Fighting Vehicle Marder 1A3 dari Jerman. Untuk Artileri Medan saat ini TNI AD telah menerima Meriam 155 mm Caesar buatan Nexter Perancis, Meriam KH 179 buatan Korea dan Multi Launcher Roket System (MLRS) Astros Mk II buatan Brasil. Sedangkan untuk Artileri Pertahanan.
Kebutuhan materiil dalam rangka modernisasi Alutsista sesuai buku Perkasad nomor 50.c tahun 2014 tentang Pembangunan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force) TNI AD tahun 2010-2029
yudhagama-1
Udara TNI AD telah menerima Rudal Mistral, Starstreak, TD-2000 dan Sista Hanud Atlas. Seiring dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang makin membaik, maka alokasi anggaran khususnya untuk TNI AD pelan tapi pasti mengalami peningkatan walaupun masih kecil bila dibandingkan negara-negara ASEAN lain dalam hal belanja modal persenjataan.
Kondisi Alutsista yang dimiliki oleh TNI Angkatan Darat saat ini diluar dari pengadaan tahun 2010, pada umumnya sebagian besar adalah pengadaan lama, yang dibuat antara Tahun 1940 s.d 1986. Sebagian besar Alutsista ini suku cadangnya relatif sulit didapat di pasaran. Kendaraan tempur yang dimiliki yang meliputi Tank AMX-13, Tank Scorpion, Panser VAB NG, Panser Saracen, Saladin, Ferret, Rudal Rapier, Meriam Howitzer 105 mm dan Meriam 76 mm/ Gunung merupakan contoh aset lama TNI AD yang membutuhkan dukungan suku cadang dan biaya pemeliharaan agar dapat berfungsi optimal. Secara umum kesiapan operasional kendaraan tempur di Satuan TNI AD jika dirata-rata berada pada angka ± 84%. Kesiapan operasional senjata yang meliputi senjata ringan sekitar ± 79% dan senjata berat ± 90. Sedangkan kesiapan operasional munisi berada pada kondisi 100%.
RENCANA MODERNISASI ALUTSISTA TNI AD
Pembangunan kekuatan TNI AD utamanya diarahkan agar dapat melaksanakan tugas pokok yang sinergis melalui pembangunan Integrated Armed Forces, berangkat dari pemikiran demikian yang mendasari lahirnya kebijakan Kekuatan Pokok Minimum/MEF (Minimum Essential Force). Pada prinsipnya pembangunan MEF dapat menunjang tercapainya pembangunan kekuatan, kemampuan dan gelar yang selaras dengan Renstra, sedangkan dalam prakteknya MEF akan fokus pada upaya modernisasi Alutsista, melakukan restrukturisasi berdasarkan kebijakan right sizing dengan menggunakan dua parameter yang saling berkaitan yaitu Postur TNI AD dan Evaluasi Kemantapan serta Kesiapan Operasional (EKKO). Pembangunan kekuatan TNI AD dilaksanakan atas dasar konsep pertahanan berbasis kemampuan (based defence capabilities), kekuatan dan gelar satuan sehingga pembangunan kekuatan TNI AD utamanya diarahkan agar dapat melaksanakan tugas pokoknya yaitu menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah darat dan menyelamatkan segenap Bangsa Indonesia yang dalam pelaksanaannya diarahkan kepada tercapainya kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force), dengan sasaran tingkat kekuatan yang cukup mampu menjamin kepentingan strategis pertahanan aspek darat.

1 comment:

  1. ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
    dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
    segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q

    ReplyDelete