E-Government merupakan kependekan dari Electronic Government, atau ada yang menyebutnya dengan E-Gov. E-Government adalah salah satu bentuk atau model sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kekuatan teknologi digital, di mana semua pekerjaan administrasi, pelayanan terhadap masyarakat, pengawasan dan pengendalian sumber daya milik organisasi yang bersangkutan, keuangan, pajak, retribusi, karyawan dan sebagainya dikendalikan dalam satu sistem. E-Government merupakan perkembangan baru dalam rangka peningkatan layanan publik yang berbasis pada pemnfaatan teknologi informasi dan komunikasi sehingga layanan publik menjadi lebih transparan, akuntabel, efektif dan efisien. Beberapa pengertian dalam memaknai E-Government antara lain sebagai berikut:
Menurut Indrajit (2002) dalam Budi Rianto dkk (2012:36):
Menurut Indrajit (2002) dalam Budi Rianto dkk (2012:36):
“Bahwa E- Government merupakan suatu mekanisme interaksi baru antara pemerintah dengan masyarakat dan kalangan lain yang berkepentingan, dengan melibatkan penggunaan teknologi informasi (terutama Internet) dengan tujuan memperbaiki mutu (kualitas) pelayanan”. E-Government adalah penyelenggaraan
kepemerintahan berbasiskan elektronik untuk meningkatkan kualitas layanan publik secara efisien, efektif dan interaktif. Dimana pada intinya E-Government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain (penduduk, pengusaha, maupun instansi
lain).
Baca juga tentang: MAKALAH EKONOMI PEMBANGUNAN NEGARA BERKEMBANG .
Indrajit (2002:1) mengatakan, berbeda dengan defenisi E-Commerce maupun E-Business yang cenderung universal, E-Government sering digambarkan atau dideskripsikan secara cukup beragam oleh masing-masing individu atau komunitas. Hal ini disebabkan karena berbagai hal:
- Walaupun sebagai sebuah konsep E-Government memiliki prinsip – prinsip dasar yang universal, namun karena setiap negara memiliki skenario implementasi atau penerapannya yang berbeda, maka definisi
dari ruang lingkup E-Government pun menjadi beraneka ragam;
- Spektrum implementasi aplikasi E-Government sangatlah lebar mengingat sedemikian banyaknya tugas dan tanggung jawab pemerintah sebuah negara yang berfungsi untuk mengatur masyarakatnya melalui berbagai jenis interaksi dan transaksi;
- Pengertian dan penerapan E-Government di sebuah negara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi internal baik secara makro maupun mikro dari negara yang bersangkutan, sehingga pemahamannya teramat sangat ditentukan oleh sejarah, budaya, pendidikan, pandangan politik, kondisi ekonomi, dari negara yang bersangkutan; dan
- Visi, misi, strategi pembangunan sebuah negara yang sangat unik mengakibatkan terjadinya beragam pendekatan dan skenario dalam proses pengembangan bangsa sehinggaberpengaruh terhadap
penyusunan prioritas pengembangan bangsa. Masalah definisi ini adalah hal yang penting, karena akan menjadi bahasa seragam bagi para konseptor maupun praktisi yang berkepentingan dalam menyusun dan mengimplementasikan E-Government di suatu negara. Terkadang definisi yang terlampau sempit akan mengurangi atau bahkan meniadakan berbagai peluang yang ditawarkan oleh E-Government, sementara
definisi yang terlampau luas dan mengambang akan menghilangkan nilai (value) manfaat yang ditawarkan oleh E-Government.
Terlepas dari berbagai perbedaan yang ada, sebenarnya ada sebuah benang merah yang dapat ditarik dari kebhinekaan tersebut. Sebelum melakukan hal tersebut, ada baiknya dikaji terlebih dahulu bagaimana berbagai komunitas atau institusi di dunia mendefinisikan E-Government. Pertama-tama marilah dikaji terlebih dahulu bagaimana lembaga-lembaga non-pemerintah memandang ruang lingkup dan domain dari E-Government.
Berikut yang dijelaskan oleh Indrajit dalam Electronic Government, (2002:1) Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan E-Government sebagai berikut:
“E-Government refers to the use by government agencies of information technologies(such as Wide Area Networks, the internet, and mobile computing) that have the ability to transform relations with citizens, businesses, and other arms of government”.
Di sisi lain, UNDP (United Nation Development Programme) dalam kesempatan mendefinisikannya secara lebih sederhana, yaitu:
“E-Government is the application of Information and Communication Technology (ICT) by government agencies”. Sementara itu, vendor perangkat lunak terkemuka semacam SAP memiliki definisi yang cukup unik, yaitu:
“E-Government is a global reform movement to promote Internet use by government agencies and everyone who deals with them”.
Janet Caldow, Direktur dari Institute for Electronic Government (IBM Corporation) dari hasil kajiannya bersama Kennedy School of Government, Harvard University, memberikan sebuah definisi yang menarik, yaitu:
“Electronic government is nothing short of a fundamental transformation of government and governance at a scale we have not witnessed since the beginning of the industrial era”.Definisi menarik dikemukakan pula oleh Jim Flyzik (US Department of Treasury) ketika diwawancarai oleh Price WaterhouseCoopers, dimana yang bersangkutan mendefinisikan:
“E-Government is abaout bringing the government into the world of the Internet, adn work on Internet time”. Setelah melihat bagaimana lembaga-lembaga atau institusi-institusi mendefinisikan E-Government, Indrajit (2002:3) memaparkan lagi bagaimana sebuah pemerintahan menggambarkannya. Pemerintah Federal Amerika Serikat mendefinisikan E-Government sebagai:
“E-Government refers to the delivery of government information and services online through the Internet or other digital means”. Sementara, Nevada, salah satu negara bagian Amerika Serikat,
mendefinisikan E-Government sebagai:
“(1) online services that eradicate the traditional barriers that prevent citizens and businesses from using government services and replace those barriers with convenient access”;
“(2) government operations for internal constituencies that simplify the operational demands of government for both agencies and employees”.
kepemerintahan berbasiskan elektronik untuk meningkatkan kualitas layanan publik secara efisien, efektif dan interaktif. Dimana pada intinya E-Government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain (penduduk, pengusaha, maupun instansi
lain).
Baca juga tentang: MAKALAH EKONOMI PEMBANGUNAN NEGARA BERKEMBANG .
Indrajit (2002:1) mengatakan, berbeda dengan defenisi E-Commerce maupun E-Business yang cenderung universal, E-Government sering digambarkan atau dideskripsikan secara cukup beragam oleh masing-masing individu atau komunitas. Hal ini disebabkan karena berbagai hal:
- Walaupun sebagai sebuah konsep E-Government memiliki prinsip – prinsip dasar yang universal, namun karena setiap negara memiliki skenario implementasi atau penerapannya yang berbeda, maka definisi
dari ruang lingkup E-Government pun menjadi beraneka ragam;
- Spektrum implementasi aplikasi E-Government sangatlah lebar mengingat sedemikian banyaknya tugas dan tanggung jawab pemerintah sebuah negara yang berfungsi untuk mengatur masyarakatnya melalui berbagai jenis interaksi dan transaksi;
- Pengertian dan penerapan E-Government di sebuah negara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi internal baik secara makro maupun mikro dari negara yang bersangkutan, sehingga pemahamannya teramat sangat ditentukan oleh sejarah, budaya, pendidikan, pandangan politik, kondisi ekonomi, dari negara yang bersangkutan; dan
- Visi, misi, strategi pembangunan sebuah negara yang sangat unik mengakibatkan terjadinya beragam pendekatan dan skenario dalam proses pengembangan bangsa sehinggaberpengaruh terhadap
penyusunan prioritas pengembangan bangsa. Masalah definisi ini adalah hal yang penting, karena akan menjadi bahasa seragam bagi para konseptor maupun praktisi yang berkepentingan dalam menyusun dan mengimplementasikan E-Government di suatu negara. Terkadang definisi yang terlampau sempit akan mengurangi atau bahkan meniadakan berbagai peluang yang ditawarkan oleh E-Government, sementara
definisi yang terlampau luas dan mengambang akan menghilangkan nilai (value) manfaat yang ditawarkan oleh E-Government.
Terlepas dari berbagai perbedaan yang ada, sebenarnya ada sebuah benang merah yang dapat ditarik dari kebhinekaan tersebut. Sebelum melakukan hal tersebut, ada baiknya dikaji terlebih dahulu bagaimana berbagai komunitas atau institusi di dunia mendefinisikan E-Government. Pertama-tama marilah dikaji terlebih dahulu bagaimana lembaga-lembaga non-pemerintah memandang ruang lingkup dan domain dari E-Government.
Berikut yang dijelaskan oleh Indrajit dalam Electronic Government, (2002:1) Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan E-Government sebagai berikut:
“E-Government refers to the use by government agencies of information technologies(such as Wide Area Networks, the internet, and mobile computing) that have the ability to transform relations with citizens, businesses, and other arms of government”.
Di sisi lain, UNDP (United Nation Development Programme) dalam kesempatan mendefinisikannya secara lebih sederhana, yaitu:
“E-Government is the application of Information and Communication Technology (ICT) by government agencies”. Sementara itu, vendor perangkat lunak terkemuka semacam SAP memiliki definisi yang cukup unik, yaitu:
“E-Government is a global reform movement to promote Internet use by government agencies and everyone who deals with them”.
Janet Caldow, Direktur dari Institute for Electronic Government (IBM Corporation) dari hasil kajiannya bersama Kennedy School of Government, Harvard University, memberikan sebuah definisi yang menarik, yaitu:
“Electronic government is nothing short of a fundamental transformation of government and governance at a scale we have not witnessed since the beginning of the industrial era”.Definisi menarik dikemukakan pula oleh Jim Flyzik (US Department of Treasury) ketika diwawancarai oleh Price WaterhouseCoopers, dimana yang bersangkutan mendefinisikan:
“E-Government is abaout bringing the government into the world of the Internet, adn work on Internet time”. Setelah melihat bagaimana lembaga-lembaga atau institusi-institusi mendefinisikan E-Government, Indrajit (2002:3) memaparkan lagi bagaimana sebuah pemerintahan menggambarkannya. Pemerintah Federal Amerika Serikat mendefinisikan E-Government sebagai:
“E-Government refers to the delivery of government information and services online through the Internet or other digital means”. Sementara, Nevada, salah satu negara bagian Amerika Serikat,
mendefinisikan E-Government sebagai:
“(1) online services that eradicate the traditional barriers that prevent citizens and businesses from using government services and replace those barriers with convenient access”;
“(2) government operations for internal constituencies that simplify the operational demands of government for both agencies and employees”.
Pemerintah New Zealand melihat E-Government sebagai sebuah fenomena sebagai berikut:
“E-Government is a way for governments to use the new technologies to provide people with more convenient access to government information and services, to improve the quality of the services and to provide greater opportunities to participate in our democratic institutions and processes”.
Italy termasuk salah satu negara yang paling lengkap dan detail dalam
mendefinisikan E-Government, yaitu:
“The use of modern ICT in the modernization of our administration, which comprise the following classes of action:
1. Computerization designed to enhance operational efficiency within individual departments and agencies;
2. Computerization of services to citizens and firms, often implying integration among the services of different departments and agencies;
3. Provision of ITC access to final users of government services and information”.
Ketika mempelajari penerapan E-Government di Asia Pasifik, Clay G. Wescott (Pejabat Senior Asian Development Bank), mencoba mendefinisikannya sebagai berikut:
“E-Government is the use of information and communications technology (ICT) to promote more efficient and cost-effective government, facilitate more convenient government services, allow greater public access to information, and make government more accountable to citizens”.
Dalam Jurnal Administrasi Negara (2006:18) mengatakan bahwa aplikasi teknologi E-Government adalah respon terhadap perubahan lingkungan strategik yang menuntut adanya perubahan administrasi publik yang lebih efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Secara perlahan namun tidak menghilangkan batas-
batas negara dan peradaban bangsa yang sebelumnya bersifat homogen dan monopolistik bergeser kearah sesuatu yang heterogen dan demokratis. Dari pendapat-pendapat yang ada, Budi Rianto dkk (2012:36)
menyimpulkan bahwa E-Government merupakan bentuk aplikasi pelaksanaan tugas dan tatalaksana pemerintahan menggunakan teknologi telematika atau teknologi informasi dan komunikasi. Aplikasi E-Government memberikan peluang meningkatkan dan mengoptimalkan hubungan antar instansi pemerintah, hubungan antara pemerintah dengan dunia usaha dan masyarakat. Mekanisme hubungan itu melalui pemanfaatan teknologi informasi yang merupakan kolaborasi atau penggabungan antara komputer dan sistem jaringan komunikasi.
Budi Rianto dkk (2012:39) mengatakan sedikitnya ada 4 indikator keberhasilan E-Government, yaitu :
1. Ketersediaan data dan informasi pada pusat data.
2. Ketersediaan data dan informasi bagi kebutuhan promosi daerah.
3. Ketersediaan aplikasi E-Government pendukung pekerjaan kantor dan pelayanan publik.
4. Ketersediaan aplikasi dialog publik dalam rangka meningkatkan komunikasi antar pemerintah, antara pemerintah dengan sektor swasta dan masyarakat melalui aplikasi e-mail, SMS ataupun teleconference.
Selain itu, untuk melaksanakan maksud tersebut pengembangan E- Government diarahkan untuk mencapai 4 (empat) tujuan, yaitu :
1. Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah Indonesia pada setiap saat
tidak dibatasi oleh sekat waktu dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
2. Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk meningkatkan perkembangan perekonomian nasional dan memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan perdagangan internasional.
3. Pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembaga-lembaga negara serta penyediaan fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan negara.
4. Pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta memperlancar transaksi dan layanan antar lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom. Dalam Jurnal Administrasi Negara (2006:19) dijelaskan bahwa E- Government merupakan pemanfaatan dan pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi dalam rangka mencapai beberapa tujuan dan kebutuhan akan :
1. Meningkatkan efisiensi dan cost-efectiveness dari pemerintah;
2. Memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik;
3. Menyediakan akses informasi kepada publik secara lebih luas;
4. Menjadikan penyelenggaraan pemerintah lebih bertanggung jawab dan transparan kepada masyarakat.
Menurut Indrajit (2002:69), ada sebuah kerangka menarik sehubungan dengan usaha peningkatan kinerja di sektor pelayanan publik yang diimplementasikan oleh pemerintah negara Singapura yang disebut sebagai konsep Managing For Exellence (MFE). Kerangka konsep ini diperuntukkan sebagai panduan strategis bagi pemerintah di tingkat kementerian dalam menyusun konsep penerapan E-Government di departemennya masing-masing.
Indrajit (2002:70) mengatakan pemerintah Singapura melihat, bahwa keseluruhan proses untuk mencapai apa yang disitilahkan sebagai “Exellence in a Public Service level” ini dapat dilakukan jika dilaksanakan 4 buah program inti sebagai prasyarat utama. Program pertama adalah total Organisation Exellence dimana kementerian yang bersangkutan telah memiliki sebuah lingkungan manajemen institusi yang profesional di seluruh lini birokrasinya. Program kedua adalah telah dimengerti dan disepakati konsep E-Government sebagai sarana dan medium untuk meningkatkan kinerja pemerintahan oleh kalangan birokrat dan mereka yang berkepentigan. Program ketiga adalah dimengertinya konsep ”More Vision, Less Bureaucracy” yang dicanangkan oleh pemerintah, dalam arti kata dibutuhkannya sejumlah pemain kunci di dalam pemerintahan yang visioner dan percaya pada adanya kecenderungan semakin terpangkasnya berbagai
proses yang cenderung birokratis di dalam sektor publik (tergantikan oleh proses yang semakin cepat dalam lingkungan struktur organisasi yang semakin ramping). Program ke empat yaitu “Innovative Public Organisations” berhubungan dengan dimungkinkannya kementerian terkait menjadi sebuah organisasi publik yang mampu untuk berinovasi menciptakan terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan kinerja institusinya (harus didukung dengan undang-undang, peraturan pemerintah, serta budaya organisasi yang memadai
agar terjadi lingkungan kondusif bagi organisasi publik untuk berinovasi). Indrajit (2002) mengatakan bahwa keseluruhan konsep MFE ini dikatakan berhasil dilaksanakan apabila kementerian berhasil mencapai suatu tahap dalam “exellence”, dimana terpenuhi 4 aspek utama, yaitu :
1. Public-Center Management – dimana kementerian terkait berhasil
melaksanakan sebuah konsep pengelolaan (manajemen) berbasis
kepentingan publik;
2. System-Oriented Approach – dimana kementerian terkait berhasil
menciptakan sebuah sistem yang menjamin terciptanya sebuah
proses pelayanan publik yang efektif, efisien, dan terkontrol dengan
baik;
3. Customer-Focused Culture – dimana kementerian terkait berhasil
menciptakan suatu budaya kerja di institusinya yang berorientasi pada
kepentingan pelanggan; dan
4. Networked Government – dimana kepentingan terkait berhasil menjalin hubungan secara lintas inspektoral dengan kementerian atau institusi publik lainnya untuk melayani publik.
Melihat fenomena yang ada tentang kebijakan penerapan E-Government, tentu saja kita akan berbicara tentang seperti apa implementasi kebijakan suatu program yang ingin dilaksanakan. Erwan Agus Purwanto dkk (2012:17) mengatakan bahwa berbagai kegagalan implementasi kebijakan/program pemerintah telah menimbulkan keprihatinan para ahli administrasi publik. Bentuk keprihatinan tersebut kemudian diwujudkan dalam wujud inisiatif untuk memahami bagaimana proses implementasi kebijakan/program sesungguhnya berjalan. Melalui pemahaman yang lebih tentang proses implementasi dilakukan secara akurat diharapkan akan dapat dirumuskan rekomendasi yang dapat digunakan untuk memperbaiki proses implementasi yang lebih baik sehingga di masa-masa mendatang implementasi suatu kebijakan akan lebih memiliki peluang untuk berhasil dibanding dengan sebelumnya.
Meskipun Laswell dalam Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih
Sulistyastuti (2012:17) tidak secara khusus memberi penekanan terhadap arti penting implementasi kebijakan dari keseluruhan tahapan yang harus dilalui dalam proses perumusan kebijakan, namun sejak saat itu konsep implementasi kemudian menjadi suatu konsep yang mulai dikenal dalam disiplin ilmu politik, ilmu administrasi publik, dan lebih khusus lagi disiplin ilmu kebijakan publik yang mulai dikembangkan. Beberapa ahli kemudian layak dianggap sebagai pioner pengembangan studi implementasi kebijakan publik. Namun dari berbagai nama tersebut yang pantas mendapat kredit paling besar tentu Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1973). Hal ini karena kedua orang peneliti inilah yang secara eksplisit menggunakan konsep implementasi untuk menjelaskan fenomena kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya. Penggunaan konsep implementasi tersebut dapat ditemukan dalam buku mereka yang diberi judul Implementation.
Setelah dirintis oleh Erwan Agus Purwanto dkk (2012), konsep implementasi kemudian mulai digunakan secara luas oleh para ilmuwan politik, administrasi publik , dan kebijakan publik. Konsep tersebut memiliki posisi yang privotal untuk menjelaskan fenomena implementasi kebijakan publik.
Perkembangan selanjutnya bermunculan pakar yang menaruh perhatian terhadap studi implementasi. Mereka, antara lain: Van Horn dan Van Meter (1975), Teilmann (1980), Klein (1979), Berman (1978), dan Patton (1978). Erwan Agus Purwanto dkk (2012:18) mengatakan secara ontologis, subject matter studi implementasi adalah atau dimaksudkan untuk memahami fenomena implementasi kebijakan publik, seperti: (i) mengapa suatu kebijakanpublik gagal diimplementasikan di suatu daerah; (ii) mengapa suatu kebijakan
publik yang sama, yang dirumuskan oleh pemerintah, memiliki tingkatkeberhasilan yang berbeda-beda ketika diimplementasikan oleh pemerintahdaerah; (iii) mengapa suatu jenis kebijakan lebih mudah dibanding dengan jenis kebijakan lain; (iv) mengapa perbedaan kelompok sasaran kebijakanmempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan.Indrajit (2005:7) mengatakan jika dikaitkan dengan E-Government, maka ada pertanyaan yang terlebih dulu harus dijawab sebelum menjawab pertanyaan di atas, karena setiap komunitas masyarakat dalam sebuah negara atau daerah pasti memiliki kondisi dan kebutuhan yang unik. Siap tidaknya mereka untuk mulai menerapkan konsep E-Government sangat bergantung pada dua hal utama, yang secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada jenis atau model E-Government yang akan diterapkan, yaitu:
- Kebutuhan seperti apa yang saat ini menjadi prioritas utama dari
masyarakat di negara atau daerah terkait; dan
- Ketersediaan sumber daya yang terdapat pada domain masyarakat dan pemerintah.
Indrajit (2005:8) mengatakan bahwa dengan kata lain, problem kesiapan untuk menerapkan prinsip-prinsip E-Government bukanlah merupakan masalah pemerintah saja, tetapi adalah masalah bersama seluruh komunitas di dalam domain pemerintahan yang dimaksud, yaitu masyarakat, para pelaku bisnis, komunitas organisasi, dan lain sebagainya. Tanda-tanda adanya kesiapan biasanya berasal dari terdapatnya pemimpin atau leader dari pemerintahan yang memperlihatkan political will untuk mempromosikan pengimplementasian E- Government. Pemimpin ini tidak saja harus pintar dalam hal penyusunan konsep, tetapi harus pula menjadi motivator ulung di dalam fase implementasi (action).
Hal kedua yang menunjukkan adanya kesiapan untuk ke arah penerapan E- Government adalah adanya suatu “kebijakan” agtau nuansa keinginan dan kesepakatan dari kalangan pemerintah dan stakeholder untuk saling membagi dan tukar-menukar informasi dalam penyelenggaraan aktivitas kegiatan sehari-
hari. Sekilah nampak bahwa hal ini sangat sederhana, namun pada tingkatan operasional tidak semudah yang dibayangkan karena masalah “menyimpan informasi untuk diri sendiri dan tidak ingin membaginya dengan pihak lain” telah membudaya di dalam diri birokrat.
(Baca juga : MAKALAH ANALISIS RASIO KEUANGAN )
Riant Nugroho (2012:674) mengatakan implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mancapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.
Untuk menjamin implementasi dapat berjalan dengan lancar, sebelum kegiatan penyampaian berbagai keluaran kebijakan dilakukan kepada kelompok sasaran. Tujuan pemberian informasi ini adalah agar kelompok sasaran memahami kebijakan yang akan diimplementasiakan sehingga mereka tidak hanya akan dapat menerima berbagai program yang diinisiasi oleh pemerintah akan tetapi berpartisipasi aktif dalam upaya mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan.
Makinde (2005) dalam Erwan Agus Purwanto dkk (2012:18) mengatakan bahwa mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam proses implementasi di negara berkembang. Studi kasus pertama tentang permasalahan implementasi tersebut diperoleh dari penelitiannya di Nigeria. Berdasarkan data yang diperolehnya, kegagalan implementasi disebabkan antara lain oleh
(1)kelompok sasaran(target beneficiaries) tidak terlibat dalam implementasiprogram,
(2) program yang diimplementasikan tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan politik,
(3) adanya korupsi,
(4) sumber daya manusia yang kapasitasnya rendah, serta
(5) tidak adanya koordinasi dan monitoring.
Di Indonesia sendiri telah banyak contoh kegagalan implementasi kebijakan maupun program. Kegagalan implementasi yang terjadi di Indonesia tidak ajuh berbeda dengan kegagalan yang ditemukan di negara lain seperti halnya di Nigeria yang dijelaskan tadi.
Al Gore dan Tony Blair dalam Indrajit (2002:5) mengatakan secara jelas dua negara besar yang terdepan dalam mengimplementasikan konsep E- Government, yaitu Amerika dan Inggris telah menggambarkan manfaat yang diperoleh dengan diterapkannya konsep E-Government bagi suatu negara, antara lain :
- Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder- nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi di berbagai bidang kehidupan bernegara;
- Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep Good Corporate Governance;
- Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas sehari-hari;
- Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber- sumber pendapatan baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan; dan
- Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara cepat dan tepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan dengan berbagai perubahan global dan trend yang ada; serta
- Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan publik secara merata dan demokratis.
Dengan kata lain, negara-negara maju memandang bahwa implementasi E-Government yang tepat akan secara signifikan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat di suatu negara secara khusus, dan masyarakat dunia secara umum. Oleh karena itu, implementasi E-Government di suatu negara selain tidak dapat ditunda-tunda, harus pula dilaksanakan secara serius, dibawah suatu kepemimpinan dan kerangka pengembangan yang holistik, yang pada akhirnya akan memberikan/mendatangkan keunggulan kompetitif secara nasional kepada senuah negara.
(Baca juga : MAKALAH ANALISIS RASIO KEUANGAN )
Al Gore dan Tony Blair dalam Indrajit (2002:5) mengatakan secara jelas dua negara besar yang terdepan dalam mengimplementasikan konsep E- Government, yaitu Amerika dan Inggris telah menggambarkan manfaat yang diperoleh dengan diterapkannya konsep E-Government bagi suatu negara, antara lain :
- Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder- nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi di berbagai bidang kehidupan bernegara;
- Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep Good Corporate Governance;
- Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas sehari-hari;
- Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber- sumber pendapatan baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan; dan
- Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara cepat dan tepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan dengan berbagai perubahan global dan trend yang ada; serta
- Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan publik secara merata dan demokratis.
Dengan kata lain, negara-negara maju memandang bahwa implementasi E-Government yang tepat akan secara signifikan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat di suatu negara secara khusus, dan masyarakat dunia secara umum. Oleh karena itu, implementasi E-Government di suatu negara selain tidak dapat ditunda-tunda, harus pula dilaksanakan secara serius, dibawah suatu kepemimpinan dan kerangka pengembangan yang holistik, yang pada akhirnya akan memberikan/mendatangkan keunggulan kompetitif secara nasional kepada senuah negara.
(Baca juga : MAKALAH ANALISIS RASIO KEUANGAN )
terima kasih
ReplyDelete