CARI

makalah tentang struktur modal, Agency Theory dan Financial Distress, Signaling Theory, Asymmetric Information Theory

 2.1.1 Struktur Modal
Fungsi pembelanjaan dan fungsi keuangan merupakan dua hal yang dilakukan oleh perusahaan dalam usahanya untuk meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Dalam menjalankan fungsi pembelanjaan, perusahaan selalu dihadapkan pada tiga masalah utama atau tiga keputusan utama, yaitu: keputusan investasi (investment decision), keputusan pendanaan (financing decision), dan keputusan mengenai
pembagian dividen (dividend decision). Keputusan pendanaan adalah keputusan keuangan tentang dari mana dana untuk membeli aktiva berasal (Lukas, 2003).
Keputusan pendanaan merupakan keputusan yang berhubungan dengan masalah penentuan sumber-sumber dana yang akan digunakan, dan masalah perimbangan terbaik antara sumber-sumber dana tersebut. Keputusan mengenai sumber dana yang akan digunakan (apakah sumber dana internal atau eksternal, jangka pendek ataukah jangka panjang) disebut keputusan pembelanjaan (financing decisions). Keputusan pembelanjaan yang efektif akan tercermin pada biaya dana (cost of fund) yang minimal (Abdul Halim, 2007).
Sumber dana dapat diperoleh dengan banyak cara, namun pada dasarnya ada dua sumber dana, yaitu dana yang berasal dari sumber asing, atau biasa disebut modal asing, dan dana yang berasal dari dalam perusahaan. Dana yang berasal dari sumber asing dapat diperoleh melalui utang (debt financing) dan melalui pembelanjaan sendiri yaitu dengan jalan penerbitan saham (equity financing). Apabila  suatu  perusahaan  dalam  memenuhi  kebutuhan  dananya mengutamakan sumber dari dalam perusahaan, maka ketergantungan pihak perusahaan terhadap pihak luar sangat kecil. Tetapi ada saat-saat tertentu dimana
semua sumber dana dari dalam perusahaan telah digunakan, sementara kebutuhan dana perusahaan semakin meningkat sehingga dalam hal ini perusahaan perlu mencari alternatif pendanaan. Alternatif pendanaan ini bisa dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber pendanaan dari luar misalnya, melalui utang atau dengan menerbitkan saham baru.
Masalah yang kemudian selalu dihadapi oleh perusahaan didalam melaksanakan keputusan pendanaan (financial decision making) adalah menentukan sumber-sumber dana mana yang akan digunakan, apakah utang, modal sendiri atau kedua-duanya, dan berapa besar proporsi masing-masing sumber dana yang akan digunakan, sehingga diperoleh suatu perimbangan optimal antara utang dengan modal sendiri, atau dengan kata lain diperoleh struktur modal yang optimal. Keputusan pendanaan yang dilakukan secara tidak cermat akan menimbulkan biaya tetap dalam bentuk biaya modal yang tinggi, yang selanjutnya dapat berakibat pada rendahnya profitabilitas perusahaan (Kartini dan Tulus Arianto,2008).
Dalam penentuan struktur modal perlu mempertimbangkan sifat serta biaya yang harus ditanggung untuk setiap sumber dana yang akan dipilihnya. Hal ini perlu dilakukan karena tiap-tiap sumber dana mempunyai risikonya masing-masing. Dalam kaitannya dengan masalah diatas maka aturan struktur finansial konservatif yang vertikal menghendaki agar perusahaan dalam keadaan bagaimanapun juga jangan mempunyai utang yang lebih besar daripada jumlah modal sendiri, atau dengan kata lain debt ratio jangan lebih besar dari 50%, sehingga modal yang dijamin (utang) tidak lebih besar dari modal yang menjadi jaminannya atau modal sendiri (Bambang Riyanto). Sedangkan berdasarkan konsep cost of capital, struktur modal optimal akan dicapai apabila struktur modal tersebut dapat meminimumkan biaya penggunaan modal rata-rata (average cost of capital).
Dalam kaitannya dengan masalah penentuan sumber-sumber dana yang akan digunakan, serta berapa besarnya proporsi masing-masing sumber dana tersebut, maka perusahaan akan menganalisis sejumlah faktor untuk kemudian menetapkan struktur modal yang ditargetkan (target capital structure), yaitu bauran atau perpaduan dari utang, saham preferen, dan saham biasa yang dikehendaki perusahaan dalam struktur modalnya (Brigham & Weston, 1990). Adanya struktur modal yang ditargetkan ini membantu perusahaan untuk selalu konsisten didalam menentukan struktur modalnya. Jika pada kenyataannya rasio utang ternyata berada dibawah tingkat sasaran, ekspansi modal biasanya akan dilakukan dengan menerbitkan utang, sedangkan jika rasio utang berada diatas tingkat sasaran, biasanya ekuitas yang akan diterbitkan (Brigham & Houston, 2006). Didalam penentuan mengenai struktur modal selalu melibatkan trade off
antara risiko dan tingkat pengembalian (risk and return). Kebijakan struktur modal melibatkan adanya suatu pertukaran antara risiko dan pengembalian, yang artinya penggunaan lebih banyak utang akan meningkatkan risiko yang ditanggung oleh para pemegang saham. Namun, penggunaan utang yang lebih besar biasanya akan menyebabkan terjadinya ekspektasi tingkat pengembalian atas ekuitas yang lebih
tinggi (Brigham & Houston, 2006). Penambahan utang memperbesar risiko perusahaan tetapi sekaligus juga memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan. Risiko yang makin tinggi akibat membesarnya utang cenderung menurunkan harga saham, tetapi meningkatnya tingkat pengembalian yang diharapkan akan menaikkan harga saham tersebut.

2.1.2 Agency Theory dan Financial Distress
Hubungan keagenan atau agency relationship muncul ketika satu atau lebih individu menggaji individu lain untuk bertindak atas namanya, mendelegasikan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada agen dan karyawannya. Dalam konteks manajemen keuangan, hubungan ini muncul antara pemegang saham (shareholders) dengan para manajer, serta shareholders dengan kreditor (Lukas,2003). Pemegang saham menginginkan manajer bekerja dengan tujuan memaksimumkan kemakmuran pemegang saham. Sebaliknya, manajer perusahaan bisa saja bertindak tidak untuk memaksimumkan  kemakmuran  pemegang  saham,  tetapi  memaksimumkan kemakmuran mereka sendiri. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil  manajemen.  Kegiatan  pengawasan  tentu  saja  membutuhkan biaya yang disebut dengan agency costs. Agency costs menurut (Abdul Halim, 2007) adalah biaya yang timbul agar manajer bertindak selaras dengan tujuan pemilik. Agency costs ini meliputi hal-hal berikut:
1. Biaya audit untuk mengawasi wewenang manajer.
2. Berbagai perjanjian atau kontrak yang menyatakan bahwa manajer tidak menyalahgunakan wewenangnya.
3. Pengeluaran insentif sebagai kompensasi untuk manajer atas prestasinya.
4. Kontrak antara perusahaan dengan pihak ketiga, di mana pihak ketiga akan membayar perusahaan jika manajer tersebut bertindak merugikan perusahaan.
5. Kontrak antara manajer dengan pemilik perusahaan, di mana pemilik perusahaan menjamin bahwa manajer akan mendapat kompensasi sejumlah tertentu jika perusahaan dijual atau dilikuidasi atau demerger dengan pihak lain.
(Abdul Halim, 2007)
Agency problem juga muncul antara kreditor, misalnya pemegang obligasi perusahaan dengan pemegang saham yang diwakili oleh manajemen perusahaan.
Konflik muncul jika manajemen mengambil proyek-proyek yang risikonya lebih besar daripada yang diperkirakan oleh kreditor, atau perusahaan meningkatkan jumlah utang hingga mencapai tingkatan yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan kreditor (Lukas,2003).
Financial distress adalah kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan terancam bangkrut. Financial distress terdiri dari dua macam yaitu, direct cost of financial distress dan indirect cost of financial distress. Yang termasuk direct cost of financial distress adalah biaya kebangkrutan atau bankruptcy costs, meliputi biaya likuidasi, keterpaksaan menjual aktiva dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk dalam indirect costs of financial distress adalah biaya yang timbul karena manajemen cenderung menghabiskan waktu untuk menghindari kebangkrutan daripada membuat keputusan perusahaan (Lukas, 2003).
Pada umumnya, semakin tinggi tingkat penggunaan utang, maka probabilitas terjadinya financial distress semakin besar. Hal ini karena semakin tingginya penggunaan utang dengan beban tetap berupa biaya bunga yang semakin besar, tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan. Perusahaan akan terancam bangkrut apabila didalam penggunaan utang, perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban yang muncul akibat dari penggunaan utang tersebut.
2.1.3 Signaling Theory
Isyarat atau signal menurut (Brigham dan Weston, 1990) adalah suatu
tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor
tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Dalam (Brigham
dan Weston, 1990), perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba
menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan
dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan utang yang melebihi target struktur
modal.
Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung
untuk menjual sahamnya. Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan
umumnya merupakan suatu isyarat (signal) bahwa manajemen memandang prospek
perusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan saham
baru lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun, karena
menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat
menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah.
2.1.4 Asymmetric Information Theory
Teori ini diperkenalkan oleh Gordon Donaldson pada awal tahun 1960. Menurut pendapatnya, asymmetric information menggambarkan kondisi dimana satu pihak mempunyai lebih banyak informasi, dalam hal ini adalah pihak manajemen perusahaan, dibandingkan dengan pihak lain yaitu pihak investor (Lukas, 2003). Jika perusahaan ingin memaksimumkan kemakmuran pemegang saham, maka ada dua tindakan yang akan diambil oleh pihak manajemen, yaitu apabila perusahaan mempunyai prospek yang cerah maka perusahaan akan cenderung menggunakan laba ditahan untuk membiayai operasinya, sedangkan apabila perusahaan berprospek kurang baik maka perusahaan akan melakukan emisi saham baru. Bagi pihak investor, keputusan untuk menerbitkan saham baru bagi perusahaan yang dianggap telah mapan dan mempunyai alternatif pendanaan lain merupakan sinyal buruk, bahwa perusahaan meragukan prospeknya. Sebagai akibatnya para investor akan menawar harga saham baru tersebut dengan harga yang lebih rendah. Karena itu  emisi saham baru akan menurunkan harga saham.
Dampak yang kemudian terjadi adalah harga saham yang baru diterbitkan akan menurun. Penurunan harga saham ini mengakibatkan biaya modal sendiri (cost of equity) menjadi tinggi, WACC menjadi tinggi, dan nilai perusahaan akan menurun. Sinyal berupa penerbitan saham ditafsirkan harga saham sudah terlalu tinggi sehingga akan terjadi underpricing pada saham baru yang diterbitkan perusahaan (Hendri Setyawan & Sutapa, 2006). Kecenderungan ini mengakibatkan perusahaan lebih memilih untuk menerbitkan obligasi atau berutang, daripada melakukan emisi saham baru. Namun demikian, perusahaan harus tetap berhati-hati, dan menjaga adanya cadangan kapasitas untuk meminjam, untuk digunakan sewaktu-waktu apabila ada peluang investasi yang baik. Artinya, perusahaan harus menjaga agar jumlah utangnya lebih kecil daripada jumlah utang optimal.

makalah yang mungkin kamu cari :

No comments:

Post a Comment